ANIMO masyarakat Indonesia untuk bekerja di pemerintah sangat tinggi. Buktinya setiap ada penerimaan PNS, maka ribuan orang akan berebut meraih sukses dan menggapai mimpi menjadi PNS di negeri ini. Padahal lowongan yang tersedia sangat terbatas. Tak jarang ada-ada kita dengar dan kita baca di media ada oknum yang minta uang pelicin agar lolos PNS.
Bahkan, jangankan rekrutmen PNS, penerimaan tenaga honorer satpol PP saja misalnya, orang berduit rela mengeluarkan uang berapa pun yang diminta oknum tertentu. Asalkan, bisa masuk menjadi honorer ini. Sementara secara regulasi tidak ada payung hukum rekrutmen tenaga honor ini. Rekrutmen ini lebih kepada kebijakan daerah atau pimpinan instansi saja, sementara pusat melarang keras.
Tapi pemerintah di daerah selalu mengeluhkan kekurangan pegawai, maka tanpa sistem yang terukur banyak instansi pemerintah di daerah mengangkat pegawai honorer berdasarkan surat keputusan pimpinan instansi bersangkutan, sementara di sisi lain pemerintah pusat selalu menyuarakan Pemda dilarang merekrut tenaga honorer sejak tahun 2005 hingga saat ini.
Sebab, sejak keluarnya peraturan pemerintah (PP) No48/2005 jelas-jelas menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah dilarang menerima tenaga honorer yang notabenenya dibayarkan lewat APBD atau APBN. Sebab itu, pemerintah dibawah kendali Presiden SBY waktu itu mengangkat seluruh honorer secara bertahap, baik yang dibiayai APBD maupun APBN dan dibayarkan lewat dana non APBD dan APBN yang disebut dengan honorer kategori 2 (K2) pun ikut menikmati kebijakan ini.
Itulah sebabnya ada 400 ribuan honorer K2 yang katanya tercecer minta hak yang sama diangkat menjadi PNS. Sebab mereka juga mengklaim sama dengan rekan-rekan mereka yang sudah duluan diangkat PNS menghonor di bawah tahun 2005 sebagai syarat bisa diangkat PNS dan pernah ikut tes sesama honorer K2.
Wajar saja mereka (honorer K2) menggelar aksi bersama di ibukota Jakarta menuntut kenaikan status menjadi PNS. Tak tanggung-tanggung selama tiga hari (10-12 Februari) tanpa hasil apa pun di tengah kesibukan Presiden Jokowi yang tidak bersedia menemui mereka. Bahkan, sampai ada yang diberitakan meninggal dunia.
Meski sudah dilarang dan tak ada payung hukum sama sekali sejak tahun 2005 tersebut. Dengan alasan kekurangan pegawai inilah, Pemda lewat instansi terkait seperti Dinas Kesehatan, RSUD dan Dinas Pendidikan tetap merekrut tenaga kesehatan dan guru.
Masyarakat pun berlomba-lomba ingin bekerja sebagai tenaga honorer, tentu dengan sebuah harapan besar suatu saat nanti bisa diangkat menjadi PNS. Padahal itu terjadi di zaman Presiden SBY. Bak kata pepatah, ganti presiden maka ganti pula kebijakan termasuk tentang honorer dan PNS ini.
Di akhir pemerintah SBY, terbitlah Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) nomor 6 tahun 2014, ASN merupakan perubahan nama dari nama PNS yang mengatur tentang pegawai pemerintah. Lagi-lagi dalam UU ini tidak ada sedikit pun pemerintah mengatur bagaimana status tenaga honor yang otomatis diangkat PNS.
Lahirnya UU ini pun memastikan tidak memberi peluang kepada tenaga honor untuk menjadi PNS. Di samping adanya pembatasan umur menjadi PNS maksimal 35 tahun, juga pemerintah melakukan proses lain lewat pegawai pemerintah dengan kontrak kerja (P3K) yang hingga kini juga tak kunjung jelas ujungnya seperti apa. Melalui jalur P3K ini harapan tenaga honor ini tergantung dengan catatan pemerintah mengeluarkan PP tentang P3K yang diperuntukan buat honorer yang kini juga belum ada kejelasannya, sehingga tidak bisa berharap banyak nasib honorer akan berubah.
Sementara itu jumlah tenaga honor hampir tiap tahun mengalami peningkatan yang sangat banyak, bukan saja di instansi pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten kota di tanah air, sekolah negeri dan swasta yang dinamakan honorer komite pun terus bertambah dengan alasan kekurangan guru.
Peran vital tenaga honor seperti kurang dihargai. Padahal mereka sangat diperlukan bahkan ada yang berkinerja lebih baik dari PNS. Tapi juga sebaliknya tak sedikit pula ada tenaga honorer yang memang membenani anggaran saja, akibat sistem rekrutmen yang tidak jelas dan berasal dari keluarga pejabat tertentu. Sebenarnya, masalah penyelesaian tenaga honor di Indonesia bergantung kepada komitmen, yakni komitmen mentaati aturan dan sikap politik (interpensi politik) baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Terbitnya PP 48/2005 tentang pengangkatan tenaga honor menjadi CPNS bukan semata-mata hanya mengakomodir keperluan pegawai melainkan lebih pada intervensi dan kepentingan politik saat itu.
Sejak tahun 2005 itu lahirlah dan diterbitkan dua PP untuk menguatkan PP 48/2005 yaitu PP 43/2007 dan PP 56/2012. Aturan itu dinyatakan saling melengkapi, merubah sebagian sehingga mengakomodir beberapa kepentingan-kepentingan partai politik dan kepentingan kepala daerah di provinsi dan kabupaten/kota yang notabene juga merupakan refresentasi partai politik karena mereka memang berasal dari parpol dan dipilih melalui pemilihan kepala daerah.
Karena sarat dengan kepentingan politik dan kepentingan, sehingga aturan yang dibuat cenderung dilanggar. Pelanggaran dilakukan terstruktur mulai dari pusat hingga daerah, dengan dalih toleransi dan keperluan dalam tanda kutip.
Tahun 2005 ditegaskan bahwa sejak pendataan dan terbitnya PP tidak boleh lagi mengangkat tenaga honorer, tapi diralat kemudian tahun 2007 bahwa tenaga honorer yang berasal dari penghasilan APBN/APBD jika sudah selesai diangkat sebelum tahun 2009 dapat mengangkat dan mengajukan tenaga honorer non APBN/APBD. Sehingga jelas terlihat aturan baru itu mengangkangi aturan sebelumnya. Hingga PP 56/2012 terbit, di daerah masih tetap saja mengangkat tenaga honorer baru. Karena pengangkatan tidak berdasarkan keperluan yang sebenanrnya, melainkan karena mengakomodir janji politik, mengangkat keluarga/famili dan anak serta menantu sang pejabat terkait.
Pengangkatan yang membabi buta tanpa menghiraukan kualitas dan kompetensi mengakibatkan minimnya kemampuan dan kreativitas kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang notabene digaji lewat APBN/APBD ini. Sehingga di beberapa daerah belanja pegawai bisa mencapai 70 persen.
Setiap tahun memang ada PNS yang pensiun, sayangnya karena rekrutmen yang serba asal tadi, sehingga PNS yang ada tidak bisa menutupi jabatan yang lowong karena minim kemampuan dan kompetensi. Jika merekrut dari umum, ada kecemburuan yang sudah lama honor. Sehingga permasalahan ini tidak akan selesai usai pengangkatan bertahap hingga tahun ke tahun.
Penulis melihat, pengangkatan honorer akan terus dilakukan oleh pemerintah mengingat ini kepentingan politik. Termasuk jika melihat realitas yang ada misalnya, jika mengacu pada analisa jabatan, analisa beban kerja, proyeksi kebutuhan PNS lima tahun ke depan, hingga pelaksanaan redistribusi pegawai jika dilakukan dengan benar pun akan tetap memerlukan pengangkatan pegawai baru.***
Ditulis Oleh: Hidayatullah
Penulis Adalah Aktivis pengamat lingkungan. Selain itu penulis juga merupakan mantan Ketua Bidang Public Relation HMI – MPO Cabang Pekanbaru tahun 2011.