Sumpur Kudus: Dapur yang Hidup dari Ladang dan Alam

Oleh: Ari Yuliasril
Jumat, 17 Oktober 2025 | 13:12
JIKA KAMU berkunjung ke Kabupaten Sijunjung, jangan lewatkan satu nagari tua yang masih hidup dalam aroma masa lalu, Nagari Sumpur Kudus. Di sini, asap tipis dari tungku kayu masih naik perlahan setiap pagi, bercampur dengan wangi santan, cabai, dan serai yang menandai denyut kehidupan masyarakatnya.

Dari luar, Sumpur Kudus tampak seperti nagari lain di Ranah Minang, sawah bertingkat, rumah gadang berdiri anggun, dan anak-anak bermain di halaman surau. Namun, di balik kesederhanaan itu, tersembunyi dapur-dapur yang menyimpan warisan kuliner luar biasa, kuliner yang bukan hanya soal rasa, tetapi juga kisah tentang bagaimana manusia belajar dari alam dan menghormati setiap anugerahnya.

Sumpur Kudus terkenal karena keberaniannya menjaga tradisi kuliner yang unik, Rendang Belalang. Bagi sebagian orang, belalang mungkin tak lebih dari serangga yang beterbangan di ladang. Tapi bagi masyarakat Sumpur Kudus, belalang adalah berkah, sumber protein alami yang bisa diolah menjadi santapan istimewa.

Prosesnya tidak main-main. Belalang dikumpulkan dari ladang pada musim tertentu, lalu digoreng hingga kering agar renyah. Setelah itu dimasak dengan santan, cabai, serai, dan lengkuas, rempah dasar masakan Minang, hingga kuahnya surut dan bumbunya meresap sempurna.
Hasilnya' Gurih, pedas, dan renyah. Teksturnya unik, aromanya kuat, dan cita rasanya menggugah rasa penasaran siapa pun yang berani mencoba.

“Kami belajar dari alam,” kata Mak Yanti, seorang ibu rumah tangga yang sudah puluhan tahun mengolah belalang menjadi rendang. “Kalau di sawah banyak belalang, jangan dibuang. Alam memberi tanda, berarti ada rezeki di sana.”

Bagi masyarakat Sumpur Kudus, rendang belalang bukan sekadar kuliner ekstrem, tetapi cermin filosofi hidup Minangkabau, bagaimana manusia hidup seimbang dengan alam. Mereka tidak serakah, tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan, tetapi juga tidak membiarkan potensi alam terbuang percuma.Inilah wajah asli kearifan lokal, sederhana, tapi penuh makna.

Belalang di Sumpur Kudus tidak hanya dijadikan rendang. Ia juga sering diolah menjadi sambal belalang, makanan rumahan yang sederhana tapi menggugah selera. Caranya, belalang digoreng garing lalu ditumbuk kasar bersama cabai merah, bawang, dan sedikit garam. Teksturnya renyah, pedasnya pas, dan aromanya khas. Makan nasi hangat dengan sambal belalang, kata orang sini, bisa membuat “lupo diri”, lupa berhenti makan.

Selain belalang, ada pula Kalio Joghiang, olahan jengkol khas Sumpur Kudus. Dalam bahasa setempat, jengkol disebut joghiang. Dimasak dengan santan kental, daun salam, cabai, dan rempah, kalio ini tak sampai kering seperti rendang, kuahnya masih kental, bumbunya melekat lembut di lidah.

Bagi orang luar, jengkol sering dianggap bahan kelas bawah, tapi di Sumpur Kudus, jengkol naik derajat. Ia dihidangkan di pesta adat, jamuan tamu, bahkan jadi menu utama dalam alek nagari.
Kebijaksanaan masyarakat tampak jelas di sini, tidak ada bahan yang hina di dapur yang penuh cinta.

Jika kamu berkunjung ke Sumpur Kudus saat ada acara adat, aroma harum bambu panggang akan langsung menyambutmu. Itu tanda bahwa warga sedang membuat Lamang Tongkat, penganan khas dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu panjang di atas bara api.

Prosesnya membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Bara api harus dijaga agar panasnya stabil, dan bambu harus diputar perlahan supaya matangnya merata. Saat bambu dibuka, aroma wangi ketan yang berpadu dengan asap kayu langsung menyeruak. Rasanya gurih, lembut, dan sedikit berasap, cita rasa yang tak bisa ditiru oven modern.

Sementara itu, di sisi lain dapur, ibu-ibu menyiapkan Godok Obuih, kue lembut dari tepung beras, santan, dan gula aren. Adonannya sederhana, tapi cara memasaknya tetap tradisional, direbus pelan hingga matang, menghasilkan tekstur legit dan rasa manis alami yang pas di lidah.

Biasanya godok obuih disajikan saat sore hari, ditemani secangkir kopi hitam atau teh talua hangat. Makanan ini menjadi simbol ketenangan dan kebersamaan, mengingatkan orang bahwa kebahagiaan sering lahir dari hal-hal yang sederhana.

“Kalau makan lamang, kita ingat bambu,” ujar Pak Rusdi, tokoh adat setempat. “Bambu itu kuat karena kosong di dalam. Artinya, orang besar harus rendah hati.” Begitulah, bahkan sepotong lamang pun bisa menjadi pelajaran hidup.

Di banyak daerah, dapur hanya tempat memasak. Tapi di Sumpur Kudus, dapur adalah jantung kehidupan. Di sanalah perempuan saling berbagi kabar, anak-anak belajar menghormati orang tua, dan laki-laki ikut membantu menyiapkan bahan saat pesta adat.

Dapur di nagari ini juga menjadi ruang pendidikan budaya. Resep diturunkan lewat pengalaman, bukan tulisan. Anak-anak belajar dengan melihat dan membantu. Sambil mengulek cabai atau memarut kelapa, mereka menyerap nilai tentang gotong royong, kesabaran, dan cinta pada tanah sendiri.

Bagi masyarakat Sumpur Kudus, memasak bukan pekerjaan domestik, tetapi tindakan budaya, cara menjaga identitas dan merawat hubungan dengan alam.

Namun, seperti banyak nagari tua lainnya, Sumpur Kudus kini menghadapi tantangan. Modernisasi membuat sebagian anak muda lebih mengenal mi instan ketimbang godok obuih, lebih akrab dengan fast food daripada kalio joghiang.

Beberapa generasi muda mulai melupakan bagaimana menyalakan tungku, memilih santan instan ketimbang memeras kelapa sendiri. Di sinilah pentingnya peran keluarga dan pemerintah nagari untuk menghidupkan kembali dapur tradisional sebagai ruang belajar dan kebanggaan lokal.

Karena sejatinya, kuliner bukan hanya urusan perut, tapi juga urusan identitas. Di Sumpur Kudus, setiap rendang belalang yang dimasak, setiap lamang yang dibakar, adalah doa agar hubungan antara manusia dan alam tetap harmonis.

Sumpur Kudus mengajarkan kita bahwa tradisi tidak selalu harus megah. Ia bisa hadir dalam wujud paling sederhana, belalang di kuali, jengkol di kalio, atau ketan dalam bambu.

Di nagari ini, dapur adalah sejarah yang hidup, tempat di mana rasa, doa, dan kearifan menyatu dalam satu aroma yang tak pernah pudar.


BERITA LAINNYA
Menebang Hutan, Menggali Liang Kubur
Jumat, 11 Juli 2025 | 13:01
Menaikkan Insentif Fiskal untuk Pengendalian Inflasi
Jumat, 15 September 2023 | 17:20
Belajar Menjadi Guru Biologi yang Interaktif
Rabu, 12 Oktober 2022 | 13:39
BERIKAN KOMENTAR
Buy twitter verification Buy Facebook verification Buy Tiktok verification SMM Panel
Top