• Home
  • Ruang Opini
  • Kinerja KPK Dalam Mengatasi Kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)

Kinerja KPK Dalam Mengatasi Kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)

Oleh: Nurma Yeni, Mahasiswa UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Jumat, 17 Juni 2022 | 22:59
Foto: voaindonesia.com
KPK merupakan kepanjangan dari Komisi Pemberantas Korupsi yang merupakan lembaga negara yang mempunyai tugas untuk dapat memberantas dan menangkap pelaku korupsi. KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) bersifat independent serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga negara. KPK berdiri sejak tahun 2002 dan memiliki landasan hukum operasionalnya sendiri yaitu melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang membahas mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) berpedoman kepada 6 asas, yaitu asas keterbukaan, asas hukum, asas kepentingan umum, asas akuntabilitas, asas penghormatan terhadap HAM (Hak Asasi Manusia), serta asas proporsionalitas. KPK sendiri bertanggung jawab langsung kepada public atau masyarakat dan menyampaikan laporan yang didapatkannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan BPK (Badan Pengawas Keuangan).

Sebelum kita membahas tentang bagaimana kinerja KPK dalam memberantas kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang saat ini masih maraknya di Indonesia, alangkah baiknya kita harus mengetahui terlebih dahulu apa saja tugas dan wewenang dari KPK itu sendiri. Tugas dan wewenang KPK diantaranya:

1.      Melakukan tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi yang lebih banyak lagi.

2.      Mengkoordinasikan dengan pihak atau instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang bertugas dalam melaksanakan pelayanan public.

3.      Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

4.      Dapat melakukan penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

5.      Supervisi terhadap pihak yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Jika dilihat dari situs resmi KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) Republik Indonesia, pengertian dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yaitu:

-          Korupsi merupakan tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara dikarenakan keuntungan status atau uang yang berkaitan dengan pribadi baik itu individu, keluarga dekat dari masing-masing pihak, maupun suatu kelompok tertentu atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. Korupsi merupakan tindak pidana yang dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

-          Kolusi adalah suatu kesepakatan atau kerja sama melawan hukum antar penyelenggara negara dan pihak lainnya yang merugikan orang lain, masyarakat luas, ataupun negara.

-          Sedangkan nepotisme adalah perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya sendiri atau pihaknya sendiri dibandingkan dengan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Saat ini kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) masih banyak terjadi di Indonesia, bahkan banyaknya bukan terjadi di kalangan masyarakat, tetapi banyak terjadi di kalangan para pejabat pemerintah. Mengapa hal tersebut dapat terjadi' Karena para pejabat pemerintah cenderung haus akan jabatan maupun uang, sehingga untuk mendapatkan hal tersebut mereka tidak akan ragu untuk melakukan apapun agar mendapatkan apa yang mereka inginkan. Oleh karena itu negara kita mempunyai KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) untuk dapat mengatasi permasalahan – permasalahan tersebut.

Namun, KPK yang diharapkan masyarakat dapat memberantas kasus KKN itu justru kinerjanya belum efektif dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurunnya kinerja KPK itu terjadi sejak tahun 2020, yaitu pada saat pandemic sedang berada di puncak. BPK (Badan Pengawas Keuangan) mengatakan bahwa menurunnya kinerja KPK atau ketidakefektifan kinerja KPK dalam memberantas kasus KKN tersebut dikarenakan adanya beberapa permasalahan. Permasalahan pertama, BPK menilai terdapat beberapa perubahan peraturan yang dibuat oleh KPK belum sepenuhnya mendukung tugas dan fungsi koordinasi bidang pencegahan dan pengelolaan benda rampasan yang didapat dari pelaku tindak pidana korupsi. Permasalahan yang kedua yaitu upaya pencegahan melalui fungsi koordinasi dan monitoring kegiatan yang dilakukan oleh KPK belum dilaksanakan secara memadai. BPK mengkritik bahwa KPK belum maksimal dalam melibatkan kementerian, pemerintah, maupun lembaga lainnya untuk dapat mendukung program pemberantasan kasus korupsi.

Semakin sedikitnya kasus KKN yang diusut oleh KPK dikarenakan saat ini pelaku KKN itu sendiri semakin banyak dan saling berhubungan. Dari orang yang pertama kali mempunyai niat untuk melakukan KKN itu sendiri, sampai kepada orang yang melakukan kasus KKN itu dan melibatkan orang lain lagi. Oleh sebab itu, KPK tentunya akan semakin sulit untuk menangkap dan mengungkapkan siapa dalang dari tindak pidana korupsi itu sendiri. Jika yang ditangkap oleh KPK hanya orang suruhan dari dalangnya, maka tindakan korupsi akan terus menerus terjadi. Karena dalang dari tindak pidana korupsi itu akan mudah dalam mendapatkan orang pengganti untuk diperintahkan melakukan korupsi itu lagi.

Tidak hanya kasus korupsi saja, kasus kolusi dan nepotisme juga saat ini sedang banyak terjadi baik itu di kalangan masyarakat sekitar maupun di kalangan pejabat pemerintah. Orang yang mempunyai kekuasaan yang tinggi cenderung akan mendahulukan kepentingan pribadi dan keluarganya sendiri dibandingkan kepentingan bangsa dan negara. Contohnya jika salah satu keluarga ingin bekerja di ranah politik atau pemerintah, maka orang yang mempunyai jabatan itu akan menggunakan koneksinya supaya keluarganya itu bisa masuk dan bekerja di instansi yang dia inginkan. Hal tersebut tentu saja menyalahi aturan. Tetapi KPK dinilai belum efektif juga dalam mengatasi kasus itu. Dimana KPK saat ini hanya fokus kepada kasus korupsi saja.

Karena kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) saat ini semakin banyak, maka pemerintah mengeluarkan landasan hukum yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sebagai tindakan pencegahan semakin banyaknya kasus KKN tersebut. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 itu telah disahkan oleh Presiden Indonesia yang ke-3 yaitu Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) pada tanggal 19 Mei 1999 di kota Jakarta. Dalam pasal 5 Undang-Undang tersebut penyelenggara negara dituntut untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggung jawab, secara efektif dan efisien, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Jika KPK masih belum memperbaiki kinerjanya dalam memberantas kasus KKN ini, maka hal tersebut akan berdampak terhadap banyak hal salah satunya berdampak terhadap pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial budaya. Pembangunan ekonomi akan sangat terhambat jika korupsi semakin merajalela, karena jika semakin banyak kasus korupsi, maka anggaran yang berjalan di pemerintahan juga akan tidak teratur dan mengalami banyak kerugian. Sedangkan dalam hal pembangunan sosial budaya sendiri, masyarakat akan semakin tidak mendapatkan kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak mereka. Pembangunan sosial sendiri merupakan seluruh aktivitas manusia yang menggabungkan aspek ekonomi, sosial, dan agama yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup ataupun kesejahteraan sosial agar manusia semakin berkembang. Jika kasus KKN ini semakin banyak terjadi di kalangan masyarakat, maka kesejahteraan masyarakat juga semakin menurun. Oleh karena itu, pihak pemerintah diharapkan untuk lebih ketat lagi dalam mengawasi kinerja lembaga negaranya maupun kondisi yang terjadi di masyarakatnya sendiri agar dapat membangun negara Indonesia kita untuk menjadi negara maju dan memperbaiki pandangan negara luar terhadap negara Indonesia agar tidak dipandang sebagai negara yang mempunyai banyak kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).


BERITA LAINNYA
Menaikkan Insentif Fiskal untuk Pengendalian Inflasi
Jumat, 15 September 2023 | 17:20
Belajar Menjadi Guru Biologi yang Interaktif
Rabu, 12 Oktober 2022 | 13:39
Korupsi Dana Bansos di Masa COVID-19
Jumat, 17 Juni 2022 | 22:43
BERIKAN KOMENTAR
Buy twitter verification Buy Facebook verification Buy Tiktok verification SMM Panel
Top