• Home
  • Ruang Opini
  • Di Balik Uang Japuik: Makna Filosofis di Balik Pernikahan Pariaman

Di Balik Uang Japuik: Makna Filosofis di Balik Pernikahan Pariaman

Oleh: Muhammad Fawzan
Kamis, 16 Oktober 2025 | 10:19
JIKA PERNIKAHAN di banyak tempat di Indonesia identik dengan lamaran dari pihak laki-laki, masyarakat Pariaman justru membalik pola itu. Di sini, perempuanlah yang mengambil langkah pertama melalui tradisi Bajapuik, sebuah ritual yang sarat filosofi, di mana keluarga perempuan memberikan penghargaan kepada keluarga calon suami.

Pada pandangan pertama, Bajapuik bisa tampak janggal bagi orang luar. Tapi bagi orang Pariaman, ini adalah cara menjaga keseimbangan sosial. Tradisi ini muncul dari pandangan hidup masyarakat Minangkabau yang menempatkan perempuan sebagai pusat kehidupan, bundo kanduang, penjaga marwah, dan penerus garis keturunan.

Asal-usul Bajapuik berakar pada prinsip “alam takambang jadi guru”: segala hal di dunia ini mengajarkan keseimbangan. Dalam rumah tangga, keseimbangan itu tampak dalam pembagian peran, perempuan membuka jalan, laki-laki membawa tanggung jawab. Uang atau barang yang diberikan bukan bentuk pembelian, melainkan penghargaan atas kerja keras orang tua laki-laki yang telah membesarkan anaknya dengan baik.

Nilai-nilai Bajapuik tampak jelas dalam setiap tahap prosesi adatnya. Dari Marantak Tando (pertukaran tanda) hingga Manjapuik Marapulai, setiap langkah diatur dengan musyawarah mufakat. Tidak ada paksaan, tidak ada hitung-hitungan duniawi yang kaku. Yang diutamakan adalah rasa hormat dan keharmonisan keluarga. Bahkan, jika salah satu pihak membatalkan pernikahan secara sepihak, mereka wajib mengembalikan Bajapuik dua kali lipat, bukan sebagai denda material, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab moral.

Kini, di era digital dan gaya hidup serba praktis, sebagian generasi muda mulai mempertanyakan relevansi Bajapuik. Beberapa menganggapnya beban finansial, yang lain melihatnya sebagai simbol patriarki terbalik. Namun di mata para tetua adat, Bajapuik justru melambangkan martabat perempuan, ia bukan subjek pasif yang menunggu, tetapi aktor aktif yang menentukan nasibnya sendiri dengan penuh tanggung jawab.

Sebagaimana pepatah Minang mengatakan, “Adat dipakai baru, kain dipakai suci,” adat boleh menyesuaikan zaman, tetapi nilai dasarnya tetap murni. Tradisi Bajapuik telah membuktikan ketahanannya, ia bisa berubah bentuk tanpa kehilangan makna. Di tengah gempuran modernitas, Bajapuik tetap menjadi saksi bagaimana masyarakat Pariaman menjaga keseimbangan antara adat, ekonomi, dan kehormatan keluarga.

Bajapuik bukan tentang uang yang berpindah tangan, melainkan tentang nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, nilai saling menghormati, memuliakan keluarga, dan menegakkan marwah perempuan Minang dalam bingkai adat yang basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.


BERITA LAINNYA
Menebang Hutan, Menggali Liang Kubur
Jumat, 11 Juli 2025 | 13:01
Menaikkan Insentif Fiskal untuk Pengendalian Inflasi
Jumat, 15 September 2023 | 17:20
Belajar Menjadi Guru Biologi yang Interaktif
Rabu, 12 Oktober 2022 | 13:39
BERIKAN KOMENTAR
Buy twitter verification Buy Facebook verification Buy Tiktok verification SMM Panel
Top