SEJARAH pendidikan Islam di Sumatera adalah kisah tentang transformasi
pengetahuan, spiritualitas, dan kearifan lokal yang berpadu dalam satu
napas, dakwah dan pendidikan. Jauh sebelum istilah “madrasah” dikenal
luas, masyarakat Minangkabau sudah mengenal lembaga bernama surau,
tempat anak-anak belajar mengaji, berdiskusi, sekaligus menempuh
perjalanan spiritual.
Islam diperkirakan masuk ke Sumatera pada abad ke-12 hingga ke-13 Masehi
melalui dua jalur utama, Aceh dan Malaka. Para pedagang Arab, Gujarat,
dan Persia tidak hanya membawa barang dagangan, tetapi juga ilmu agama.
Menurut penelitian Ayub Handrihadi dan Bahaking Rama, proses Islamisasi
berlangsung secara damai, melalui pendekatan budaya dan bahasa setempat.
“Para ulama saat itu tidak menghapus adat, tapi menyesuaikan ajaran
Islam agar selaras dengan nilai lokal,” ujar Bahaking Rama dalam
penelitiannya.
Lembaga pendidikan Islam pertama yang tumbuh dari proses ini adalah
surau. Di Minangkabau, surau awalnya berfungsi sebagai tempat tidur anak
laki-laki dan pusat kegiatan sosial. Namun sejak abad ke-17, fungsi itu
bergeser menjadi pusat pendidikan dan penyebaran tarekat. Tokoh yang
berjasa besar dalam perubahan ini adalah Syekh Burhanuddin Ulakan, murid
dari Syekh Abdurrauf Singkil, yang memperkenalkan sistem pengajaran
agama di surau sekitar tahun 1680 M.
Dari surau inilah kemudian lahir generasi ulama dan cerdik pandai
Minangkabau. Di akhir abad ke-19, muncul nama Syekh Abdul Karim
Qmrullah, atau Haji Rasul yang mereformasi sistem pengajaran dengan
memperkenalkan kelas-kelas formal di Sumatera Thawalib Padang Panjang
pada 1921. Sekolah ini menjadi pionir pendidikan Islam modern di
Indonesia.
Tak lama kemudian, Zainuddin Labai El Yunusiy mendirikan Madrasah
Diniyah pada tahun 1915. Ia menggabungkan pelajaran agama dengan ilmu
umum seperti matematika dan bahasa Arab modern.
Sejarawan mencatat, Sekolah Adabiyah yang didirikan Syekh Abdullah Ahmad
pada 1909 bahkan menjadi madrasah modern pertama di Nusantara yang
menggunakan sistem klasikal dan kurikulum terstruktur. “Para pembaharu
ini sebagian besar pernah belajar di Mekkah,” tulis Ayub Handrihadi,
“dan mereka membawa semangat modernisasi tanpa meninggalkan akar
tradisi.”
Surau, Thawalib, dan Diniyah adalah tonggak yang menegaskan bahwa
pendidikan Islam di Sumatera bukanlah lembaga pasif, tetapi motor
perubahan sosial. Ia membentuk watak masyarakat yang berpikir kritis,
beradab, dan terbuka terhadap pengetahuan baru tanpa kehilangan
identitas keislamannya.