Menurut keyakinan muslim, etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia, karena cocok dengan fitrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi), praktis, tepat, dan dapat digunakan di segala waktu dan tempat. Dalam pandangan Islam, iman berhubungan positif dengan akhlak. Semakin kuat iman seseorang, semakin baik ahlaknya. dalam penyelenggaraan birokrasi di sebuah negara, memerlukan sistem agar dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Maka daripada itu, adanya birokrasi administrasi sebagai motor penggerak dan penyelenggaraan sebuah negara dalam menjalankan roda pemerintahan Dan pelayanan publik administrasi negara harus berpedoman pada ajaran Islam seperti jujur. amanah, dan bersikap baik. Dengan agama, birokrat akan bekerja dengan penuh amah, tanggung jawab, dan merasa selalu diawasi. (Dr, 2016)
Prinsip dasar birokrasi adalah proses waktu pelayanan cepat, biaya murah, tidak berbelit-belit, sikap dan perilaku para pegawai ramah dan sopan, ini yang selalu harus dijaga serta dilaksanakan tanpa mengenal pamrih. Dengan sendirinya akan berdampak terhadap orang yang dilayani akan diperlakukan hal yang sama atas kepuasan pelayanan karena para pelaksana birokrasi memegang prinsip etika dalam melaksanakan birokrasi. (Wahyudi, 2020) Adab dan etika dalam perspektif Islam yang diperlukan dalam pelaksanaan pelayanan publik oleh birokrat sangat perlu dipahami dengan baik. Tanpa bisa memahami dengan baik adab dan etika kerja tersebut, sudah pasti hasil dari suatu pelaksanaan pekerjaan tidak akan memuaskan hati. Di bawah ini akan dijelaskan adab dan etika dalam melaksanakan suatu pekerjaan, yaitu: (Rusdi; Afrinaldy Rustam, 2021)
1) Diniatkan ikhlas karena Allah SWT.
Keikhlasan dalam berbuat sangat dipengaruhi oleh tingkat ketakwaan seseorang. Semakin baik ketakwaan maka pelaksanaan amanah yang diberikan kepada seseorang akan memberikan hasil yang baik pula. Keadaan pada hari ini pada saat birokrat sedang melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pelayanan masyarakat, nilai-nilai ketakwaan ini dapat untuk ditampilkan lebih baik, padahal sebenarnya tidaklah baik. Seperti melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Maksudnya di sini adalah terkesampingkannya nilai-nilai ketakwaan itu, dengan mendahulukan keinginan hawa nafsu.
2) Bekerja dengan tekun dan sungguh-sungguh (itqon)
Sebuah hadis diriwayatkan oleh Aisyah ra. tentang hal ini, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إن اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
Artinya= “Sesungguhnya Allah Swt. mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja dia itqon (menyempurnakan) pekerjaannnya". (HR. Thabrani).
Pekerjaan yang asal-asalan atau bagaimana pekerjaan itu asal selesai saja yang menjadi tujuan, akan memperlihatkan penyelesaian amanah dan tanggung jawab yang tidak baik. Birokrat harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Pelayanan yang baik tentu akan memberikan kepuasan kepada masyarkat. Harus kita ingat bahwa pelayanan yang baik itu, adalah pelayanan yang memberikan kepuasan. Pelayanan publik yang baik itu juga disebut pelayanan yang melebihi harapan publik. Tanpa adanya ketekunan dan kesungguhan dari seorang birokrat, maka ini tidak akan terwujud.
MeUtamakan kejujuran dan amanah dalam bekerja
Birokrat yang tidak memiliki kejujuran dalam bekerja, sudah pasti juga tidak akan mampu untuk bersikap amanah. Kejujuran dan amanah berkaitan erat dengan tingkat ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Ketakwaan yang baik akan mewujudkan kejujuran dan amanah yang baik. Birokrat adalah individu yang digaji oleh negara untuk melayani rakyat. Gaji seorang birokrat sudah ditentukan oleh negara berdasarkan perundangan yang berlaku. Birokrat harus mampu menjadikan profesinya sebagai sumber ladang amal kebajikan untuk meningkat derajat ketakwaannya di sisi Allah SWT.
4) Memahami dan menerapkan etika sebagai seorang Muslim
Islam adalah agama yang memiliki etika dan adab yang sangat menjunjung tinggi kesopanan maupun kehormatan seseorang. Dalam bekerja, etika sangat penting dilakukan agar dalam bekerja kita mencerminkan seorang Muslim yang santun dalam berbagai hal mulai dari tutur kata dalam memilih bahasa saat berbicara, bertegur sapa, berpakaian, berinteraksi, bergaul dengan rekan maupun masyarakat, makan, minum, berhadapan dengan masyarakat, rapat, dan berbagai kegiatan lainnya. Etika ataupun akhlak yang diterapkan dalam pekerjaan merupakan suatu perwujudan dari kesempurnaan iman seorang mukmin.
Sumber etika seorang yang beriman kepada Allah Swt. adalah Al-Qur’an dan Hadits. Begitu banyak nilai-nilai etika di dalam Al-Qur'an yang telah dinyatakan oleh Allah Swt. Kalau umat yang beriman bisa untuk melaksanakan perintah Allah Swt. tersebut, maka akan selamatlah hidup di dunia dan selamat juga pada kehidupan akhirat yang kekal dan abadi.
5) Tetap memegang teguh prinsip-prinsip syari’ah
Selain menjaga etika dan akhlak, seorang Muslim juga wajib untuk tetap memegang teguh prinsip-prinsip syari’ah dalam pekerjaan yang digelutinya. Seperti para birokrat di suatu instansi pemerintahan, mereka melakukan pekerjaan proses birokrasi yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Semakin pesatnya kemajuan zaman, prinsip-prinsip syari’ah dalam bekerja memang akan semakin sulit karena berkaitan dengan kemajuan, keuntungan, dan penghasilan lebih dari pekerjaan yang kita lakukan. Keadaan ini menjadi tantangan bagi iman para birokrat yang senantiasa meningkatkan keimanan dan mempertahankan kehalalan suatu pekerjaan serta meninggalkan hal-hal yang haram.
6) Menghindari syubhat
Sebuah hadis menjelaskan tentang syubhat, bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ، لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ
Artinya= “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-Nya. Barangsiapa yang menghindari perkara syubhat (samar-samar), maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar-samar, maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram.
Contoh syubhat yang biasa sering kita dengar yaitu adalah korupsi dan menerima uang syubhat (perkara yang diragukan). Yang ntah berasal dari mana uang itu didapatkan, apakah halal atau haram.
7) Menjaga ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah yang terjaga dengan baik dalam sebuah instansi pemerintahan akan melahirkan suasana kebersamaan yang tinggi. Birokrat yang berada pada level atas, akan menjadi pelindung dan pengayom untuk birokrat yang berada pada level menengah dan bawah. Mereka akan semangat bekerja dengan penuh tanggung jawab karena pengembangan diri mereka terbuka sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Kita yang seiman adalah saudara. Maka kita harus dapat untuk menjaga hubungan dengan orang di sekitar kita.
Etika dan adab dalam birokrasi pemerintahan sangat menentukan keberhasilan pekerjaan yang dilakukan oleh seorang birokrat. Pekerjaan birokrat memberikan pelayanan kepada masyarakat akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Maka membentuk etika birokrat yang Istami perlu sifat dan karakter Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadits. Dengan prinsip tauhid Islam akan mengarahkan para perilaku birokrat ke arah yang lebih baik lagi, agar tidak terjadi maladministrasi di ranah pemerintahan, Dan juga merealisasikan nilai-nilai Islami dalam kehidupan birokrasi adalah faktor utama untuk mencegah maladministrasi di kalangan para birokrat.
Daftar
Pustaka
Dr, H. D. (2016). Etika Pemerintahan di Indonesia. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Jusman Iskandar; Alfiah; Amalia Nur Fajriah; Anggun Dwi Rahmawati; Anisa Sofiani. (2020). Etika Birokrat dalam Pelayanan Publik. Jurnal Dialetika: Jurnal Ilmu Sosial, 1-10.
Rusdi; Afrinaldy Rustam. (2021). Birokrasi Islam. Depok: Rajawali Pers.
Wahyudi, R. (2020). Maladmninistrasi Birokrasi di
Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Niara, 145-154.