Mencari Kehidupan Baru Di Ambang Runtuhnya Peradaban

Ditulis Oleh: T.H. Hari Sucahyo*
Jumat, 12 Desember 2025 | 14:45
T.H. Hari Sucahyo

KITA tidak akan menyelamatkan peradaban kita ini. Kalimat itu terdengar seperti putus asa, tetapi sebenarnya hanya pengakuan kejujuran yang sudah lama tertunda. Kita tidak akan mendapatkan apa pun dengan berpura-pura sebaliknya atau mengabaikan realitas yang semakin keras mengetuk pintu kita.


Dunia yang kita tempati saat ini bukanlah dunia yang dibangun untuk ketahanan jangka panjang; ia dibangun untuk kecepatan, ekspansi, dan keuntungan yang terus meningkat, seolah-olah sumber daya yang menyokongnya tidak memiliki batas. Mari kita, setidaknya untuk sekali saja, berhenti berlama-lama dalam ilusi; berhenti menghibur diri bahwa negara-negara otoriter akan bertindak demi kepentingan publik global, atau bahwa segelintir elite akan mendadak tercerahkan untuk mengubah arah sejarah.


Keputusan-keputusan besar mereka selalu tunduk pada satu hal: keamanan dan kenyamanan kelas kecil yang sudah terlanjur menikmati akumulasi kekayaan absurd. Ironisnya, penekanan pada kekuasaan yang didorong oleh ketidaktahuan dan kesombongan itu perlahan-lahan akan membunuh mereka juga, meski mereka tidak akan pernah mau mengakuinya sampai saat-saat terakhir.


Di hadapan itu semua, menjual sisa waktu yang kita punya kepada para pedagang keserakahan; mereka yang kini menjadi kuli paling rajin dalam proyek besar menghancurkan planet adalah tindakan yang bukan saja konyol, tetapi juga menyedihkan. Apa sebenarnya yang bisa kita dapatkan dari transaksi seperti itu' Janji kosong tentang “kemajuan”' Fragmen-fragmen kenyamanan yang cepat menguap'


Atau sekadar perasaan bahwa kita sedang melakukan sesuatu, padahal sesungguhnya kita hanya memperpanjang napas sistem yang sudah sekarat' Kita telah terbiasa menilai diri dari kemampuan bertahan dalam struktur yang dibuat oleh orang lain, hingga lupa bahwa struktur itulah yang sesungguhnya mempercepat keruntuhan kita.


Apa yang kita butuhkan saat ini justru sesuatu yang selama seratus tahun terakhir dianggap sebagai musuh utama: pemikiran jangka pendek. Ironis, tentu saja. Pemikiran jangka pendek telah menjadi kambing hitam untuk hampir semua kesalahan peradaban modern. Kita terlalu cepat menguras, terlalu cepat membangun, terlalu cepat mengambil, terlalu lambat memulihkan.


Pemikiran jangka pendek mengubah hutan menjadi kebun industri, sungai menjadi saluran limbah, udara menjadi tempat penampungan karbon. Namun kini, ketika waktu yang tersisa tidak lagi dapat dihitung dalam abad atau generasi, melainkan dalam dekade dan tahun, kita tiba-tiba harus mempelajari kembali cara berpikir hanya untuk hari ini, hanya untuk pekan ini, hanya untuk tahun ini. Karena jangka panjang, sejatinya, telah runtuh sebagai horizon yang bisa kita kejar.


Dalam paradoks yang menghantui sejarah manusia, kehancuran planet ini bukanlah akibat dari kekurangan kemampuan atau kegagalan sistem, melainkan keberhasilan kapitalisme. Sistem itu bekerja persis sebagaimana ia dirancang: memaksimalkan keuntungan, memacu produksi, memperbesar modal, dan mempercepat konsumsi.


Bencana ekologis yang mengintai bukanlah anomali, melainkan produk sampingan dari keberhasilan sistemik. Ada dua aspek utama yang menyusun tragedi ini. Aspek pertama adalah yang paling mudah dipahami: sesuatu yang baik ketika dilakukan dengan moderasi dapat menjadi mematikan ketika dilakukan dengan ekstrem.


Pertumbuhan, inovasi, ekspansi pasar; semuanya dapat menghasilkan kemakmuran ketika dijalankan dalam batas-batas wajar. Namun batas itu telah lama dihapus oleh keinginan untuk terus tumbuh tanpa henti. Tidak ada organisme, tidak ada ekosistem, tidak ada galaksi yang tumbuh tanpa batas. Kapitalisme menolak pemahaman paling dasar tentang alam: bahwa segala sesuatu memiliki ambang.


Aspek kedua bersifat lebih halus: kapitalisme bukan hanya sistem ekonomi, tetapi cara berpikir. Ia mengubah imajinasi kita. Ia membuat kita percaya bahwa eksploitasi adalah alamiah, bahwa kompetisi adalah hukum kehidupan, bahwa nilai sebuah benda hanya ditentukan oleh harga, bahwa perkembangan selalu harus berarti “lebih banyak”, bukan “lebih cukup”.


Ia membentuk kebiasaan kita dalam menilai dunia, termasuk dalam menilai diri sendiri. Kita mengadopsi cara pandang itu sehingga lupa bahwa kita adalah bagian dari jaringan kehidupan yang jauh lebih besar dari logika pasar mana pun.


Untuk memahami seberapa dalam cara berpikir itu membentuk dunia modern, kita dapat menengok ke masa ketika Eropa memulai fokus besar-besaran pada usaha-usaha padat modal. Contoh paling awal dan paling menentukan adalah perdagangan rempah-rempah dari Asia Tenggara.


Pada masa itu, mempersiapkan sebuah ekspedisi laut bukanlah perkara sederhana. Butuh modal besar, organisasi kompleks, dan struktur pendanaan yang melibatkan banyak pemegang saham. Model perusahaan saham gabungan lahir dari kebutuhan untuk menanggung risiko besar secara kolektif. Armada kapal yang akan berlayar selama berbulan-bulan, bahkan setahun penuh, demi membeli rempah-rempah di kepulauan Indonesia sebelum kembali ke Eropa merupakan bentuk pertaruhan yang tidak pernah dikenal sebelumnya dalam sejarah perdagangan dunia.


Pertaruhan itu berbuah manis bagi mereka yang berada di pusat sistem. Setiap keberhasilan menandai lahirnya lapisan sosial baru: para kapitalis pemilik saham yang memperoleh keuntungan tanpa harus mengangkat dayung atau mengangkat peti. Namun setiap keberhasilan juga memantik perlombaan baru.


Jika satu perusahaan mampu mengambil rempah-rempah lebih cepat, yang lain harus mengikuti. Jika satu kerajaan memperluas koloni demi menguasai jalur perdagangan, kerajaan lain harus menyusul. Logika persaingan itu terus membesar, lalu menyebar dari perdagangan rempah ke perdagangan manusia, bahan bakar fosil, mesin pabrik, hingga pada akhirnya ke seluruh aspek kehidupan.


Setiap langkah itu menumpuk keuntungan dan kerusakan sekaligus, dua sisi mata uang yang sama. Kebutuhan untuk menopang keuntungan membuat eksploitasi harus terus berjalan, tanah harus terus digarap, hutan harus terus dibuka, tambang harus terus digali, laut harus terus ditangkap.


Pertumbuhan menjadi satu-satunya tujuan yang diakui. Bahkan negara pun berubah menjadi lembaga yang bertugas memastikan kondisi yang menguntungkan bagi modal. Undang-undang dibangun untuk memfasilitasi investasi, bukan keseimbangan ekologis; untuk menjaga arus perdagangan, bukan kestabilan sosial; untuk melindungi hak kepemilikan, bukan hak atas kehidupan.


Tidak ada sistem yang dapat melompati batas alam tanpa harus membayar harganya. Kita telah memasuki masa pembayaran itu. Temperatur terus merangkak naik, pola cuaca memburuk, ekosistem runtuh tanpa sempat beregenerasi. Sepuluh tahun lalu, para ilmuwan memperingatkan kita tentang tipping points, titik-titik kritis yang jika dilampaui akan mengubah sistem bumi secara tidak dapat balik. Kini kita tidak lagi memperdebatkan apakah tipping points itu akan tercapai, melainkan berapa banyak yang sudah terlewati.


Kejujuran paling pahit adalah bahwa kita sebenarnya tahu semua ini sejak lama. Kita tahu sejak laporan ilmiah pertama tentang pemanasan global pada 1970-an. Kita tahu saat Exxon memetakan risikonya pada 1980-an. Kita tahu saat bencana alam mulai menyerang dengan frekuensi yang tidak wajar. Tetapi kita tetap melanjutkan kehidupan seolah tidak ada yang berubah, seolah ada seseorang, entah siapa, yang akan menekan tombol berhenti pada mesin besar ini. Padahal mesin itu tidak pernah memiliki tombol berhenti; ia hanya memiliki pedal gas.

Maka, apa yang tersisa bagi kita sekarang' Mungkin inilah saatnya kita mengakui bahwa kita tidak sedang mencari keselamatan bagi peradaban, melainkan mencari kewarasan bagi diri sendiri. Kita tidak bisa menyelamatkan sistem yang dibangun untuk menghancurkan dirinya sendiri. Kita masih bisa menyelamatkan sebagian dari dunia yang kita kenal—tempat-tempat kecil, komunitas-komunitas yang saling menjaga, upaya-upaya yang tidak menunggu persetujuan korporasi atau negara. Untuk itu, pemikiran jangka pendek justru diperlukan.

Kita tidak lagi memiliki kemewahan untuk menyusun rencana sepuluh atau seratus tahun. Kita harus bertanya: apa yang bisa dilakukan hari ini agar esok tidak lebih hancur' Apa yang bisa dilakukan minggu ini agar bulan depan masih ada ruang gerak' Apa yang bisa dilakukan tahun ini untuk menciptakan kondisi di mana kehidupan masih mungkin berlangsung'

Pemikiran jangka pendek dalam konteks ini bukanlah keserakahan, melainkan prioritas. Ia adalah fokus pada tindakan-tindakan kecil yang dapat mengurangi penderitaan, memperpanjang keberlanjutan lokal, menciptakan jaringan solidaritas. Kita harus berhenti menunggu “pemimpin besar” turun tangan.

Kita harus berhenti menunggu perusahaan global berubah menjadi lembaga filantropi. Kita harus berhenti menunggu negara mengambil keputusan berani yang berlawanan dengan kepentingan kapital. Sejarah menunjukkan kita tidak akan mendapatkan itu semua.

Yang bisa kita lakukan adalah mengembalikan skala tempat tindakan memiliki makna. Skala keluarga, desa, kota kecil, komunitas. Kita harus menata ulang pola hidup, membangun ketahanan lokal, merawat kerentanan satu sama lain. Kita harus menanam makanan sendiri jika bisa, mengurangi ketergantungan energi, menyalakan kembali pola kehidupan yang selama ini dianggap usang. Kita harus belajar memperlambat, menolak tekanan “produktivitas”, menolak tuntutan pertumbuhan yang tidak lagi relevan dalam dunia yang sudah melampaui batas.

Kita mungkin tidak menyelamatkan peradaban, tetapi kita bisa menyelamatkan orang-orang di sekitar kita. Kita bisa membangun ruang kehidupan yang tidak tunduk pada logika pasar. Kita bisa memulihkan hubungan kita dengan alam, meski dalam skala kecil. Kita bisa memilih untuk tidak ikut mendorong mesin yang sama yang sedang mengekstraksi detik-detik terakhir dari masa depan.

Ini bukan ajakan untuk menyerah. Justru sebaliknya: ini ajakan untuk berhenti berbohong. Kita harus berdiri di atas kenyataan, meski pahit. Kita harus memandang dunia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana kita inginkan. Dan dari tempat itulah, untuk pertama kalinya, kita dapat membangun sesuatu yang benar-benar baru; bukan peradaban yang besar, tetapi kehidupan yang layak.

Mungkin itu akhirnya yang paling penting. Bukan menyelamatkan dunia dalam skala total, tetapi menjaga cahaya tetap menyala di ruang-ruang kecil yang masih memungkinkan bagi kehidupan. Dan dalam ruang-ruang kecil itu, mungkin manusia bisa menemukan kembali kesederhanaan yang telah lama hilang: kemampuan hidup cukup, bukan berlebih; kemampuan merawat, bukan menaklukkan; kemampuan hadir dalam waktu yang singkat tetapi bermakna.

Karena pada akhirnya, hidup selalu terjadi dalam jangka pendek. Masa depan yang panjang hanyalah ilusi yang dibangun ekonomi. Yang kita miliki hanya sekarang, hanya hari ini. Dan barangkali dari titik inilah, dunia yang lain yang lebih jujur, lebih kecil, tetapi lebih manusiawi, bisa mulai tumbuh kembali.

______

*  Penggagas Forum Kajian Keutuhan Ciptaan (FKKC)



BERITA LAINNYA
Kesalehan Sosial di Tengah Bencana
Jumat, 05 Desember 2025 | 19:31
Menebang Hutan, Menggali Liang Kubur
Jumat, 11 Juli 2025 | 13:01
Menaikkan Insentif Fiskal untuk Pengendalian Inflasi
Jumat, 15 September 2023 | 17:20
Belajar Menjadi Guru Biologi yang Interaktif
Rabu, 12 Oktober 2022 | 13:39
BERIKAN KOMENTAR
Buy twitter verification Buy Facebook verification Buy Tiktok verification SMM Panel
Top