JAKARTA, RIAUGREEN.COM - Kuva Space, perusahaan terdepan dalam
intelijen hiperspektral (sebuah teknologi terbarukan untuk pengindraan
gelombang cahaya yang juga mencakup spektrum yang tidak kasat mata)
berbasis satelit, telah menjalin kemitraan dengan WWF-Indonesia untuk
meluncurkan inisiatif yang memanfaatkan data satelit dan kecerdasan
buatan (AI) untuk memantau serta mengukur potensi besar ekosistem karbon
biru Indonesia.
Kolaborasi ini akan berfokus pada pemetaan
habitat lamun dan mangrove di lokasi restorasi prioritas di Kabupaten
Alor, Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Upaya
ini menghadirkan pendekatan konservasi pesisir dan estimasi karbon biru
yang dapat direplikasi di daerah lainnya dan berbasis ilmiah. Hasil dari
pemetaan ini dapat mendukung fondasi transparan dan dapat diperluas
untuk perhitungan karbon biru, perencanaan kebijakan, serta pembiayaan
berkelanjutan, menciptakan model yang dapat direplikasi di negara
pesisir lain dan diintegrasikan dengan kerangka karbon global.
Pasar
karbon biru yang berfokus pada perlindungan dan restorasi ekosistem
pesisir seperti mangrove, lamun, dan rawa air asin, tengah berkembang
pesat seiring meningkatnya perhatian pemerintah dan investor terhadap
perannya dalam mitigasi perubahan iklim. Meskipun proyek blue carbon
saat ini baru mencakup sekitar 0,91%* dari total kredit di pasar karbon
sukarela, kemajuan teknologi penginderaan jauh, akuntansi karbon, dan
pemantauan mengubah kecepatan perkembangannya. Inovasi tersebut
meningkatkan transparansi, verifikasi, dan penilaian. Ini menjadi faktor
penting dalam menarik pembiayaan berkelanjutan dalam skala besar.
Augustinus
Frumentius Harudabawur, S.Pi. selaku Kepala UPTD Alor menyampaikan
“Kami di UPTD Pengelola Taman Perairan Kepulauan Alor dan Laut
Sekitarnya yang merupakan suatu organik struktur kerja dari Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur menyambut baik
kolaborasi antara WWF-Indonesia dan Kuva Space ini. Hal ini sejalan
dengan Visi Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur NTT Maju,
Sehat, Cerdas, Sejahtera dan Berkelanjutan, dengan Misi serta Program (7
pilar) Prioritas adalah Pilar Ekonomi Berkelanjutan dan Kolaborasi,
serta Program Prioritas Dasa Cita dalam spirit Ayo Bangun NTT dengan
Pemanfaatan teknologi satelit hiperspektral memberikan peningkatan
signifikan dalam memantau kesehatan lamun dan mangrove secara lebih
akurat, efisien, dan berkelanjutan di kawasan konservasi. Inisiatif ini
tidak hanya memperkuat dasar ilmiah pengelolaan kawasan, tetapi juga
membuka peluang bagi pengembangan skema pembiayaan biru yang dapat
memberikan manfaat langsung bagi masyarakat pesisir Alor.”
“Ekosistem
pesisir Indonesia sangat penting bagi keanekaragaman hayati maupun
penghidupan masyarakat. Pemanfaatan teknologi hiperspektral dan AI
menunjukkan bahwa inovasi dapat berjalan seiring dengan upaya konservasi
laut,” ujar Dr. Imam Musthofa Zainudin, Direktur Program Kelautan dan
Perikanan WWF-Indonesia.
“Kolaborasi ini berpotensi menjadi
terobosan dalam cara kita memantau dan merestorasi ekosistem pesisir
dalam skala besar. Dengan menggabungkan analisis berbasis AI dan data
lapangan, kita dapat memantau mangrove dan lamun secara lebih akurat dan
efisien dibanding sebelumnya. Hal ini tidak hanya memperkuat kerja
konservasi kami tetapi juga membuka landasan bagi pengembangan kredit
blue carbon terverifikasi yang dapat memberi manfaat langsung bagi
masyarakat lokal,” lanjutnya.
Penginderaan hiperspektral
menangkap data jauh melampaui kemampuan satelit konvensional, mendeteksi
tanda-tanda biokimia dan spektral halus yang mengungkap komposisi serta
kondisi kesehatan suatu ekosistem. Dikombinasikan dengan model AI
canggih, teknologi Kuva Space menerjemahkan data ini menjadi analisis
presisi tentang distribusi spesies, biomassa, kualitas perairan, dan
potensi penyerapan karbon. Semua data indikator penting untuk verifikasi
blue carbon dan percepatan pembiayaan berkelanjutan.
Kolaborasi
dengan WWF-Indonesia memperluas misi Kuva Space untuk menghadirkan
intelijen iklim berbasis satelit yang dapat diakses dan dapat
ditindaklanjuti oleh pemerintah, organisasi masyarakat, dan sektor
industri di seluruh dunia.
“Pemantauan ekosistem blue carbon
selama ini sangat mengandalkan kerja lapangan intensif yang dapat
memakan waktu bertahun-tahun namun hanya mencakup sebagian kecil
wilayah,” kata Jarkko Antila, CEO Kuva Space.
Ia pun
menambahkan, “Dengan teknologi satelit dan AI inovatif seperti milik
kami, kita dapat mendeteksi, mengidentifikasi, dan memprediksi kondisi
ekosistem pesisir dengan akurasi, frekuensi, dan cakupan yang lebih
besar, memberikan wawasan hampir real-time untuk mengatasi isu
transparansi, memastikan harga yang adil, dan membuka akses pembiayaan
berkelanjutan. Kolaborasi strategis antara WWF-Indonesia dan Kuva Space
menjadi bukti kuat bahwa kemitraan global-lokal dapat menjadi fondasi
bagi pembiayaan lingkungan yang berkelanjutan.”
Indonesia
memiliki sekitar seperlima mangrove dunia, menjadikannya salah satu
cadangan blue carbon terbesar di planet ini. Namun, menurut laporan
State of the World's Mangroves 2024 (Sumber: Global Mangrove Watch),
hanya sekitar setengahnya yang berada dalam kondisi berkualitas tinggi.
Ekosistem lamun menghadapi tekanan serupa akibat polusi, sedimentasi,
dan pembangunan pesisir.
Dengan menggabungkan inovasi data iklim
berbasis satelit dari Kuva Space dan keahlian lapangan WWF-Indonesia,
proyek ini akan menghasilkan pemantauan yang efisien, terverifikasi,
serta berbiaya efektif atas ekosistem kritis tersebut, meningkatkan
transparansi dan berkontribusi pada standarisasi metodologi sambil
memperkuat pasar blue carbon Indonesia. Upaya ini juga mendukung
Pemerintah Indonesia dalam pencapaian target Nationally Determined
Contributions (NDC) kedua, strategi Forest and Other Land Use (FOLU) Net
Sink, dan pengembangan ekonomi biru. Kerja sama ini juga mendukung
program prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Pemerintah
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam pemantauan dan
pengelolaan ekosistem karbon biru.
*Farahmand, S., Hilmi, N.
& Duarte, C.M. The rise and flows of blue carbon credits advance
global climate and biodiversity goals. npj Ocean Sustain 4, 39 (2025).