PELALAWAN, RIAUGREEN.COM - Gerak cepat, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pelalawan
dalam upaya menangani sengkarut kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)
tepat waktu, ditengah konflik kawasan yang nyaris saja memicu kesalah
pahaman bagi warga yang menempati wilayah yang tentu saja merupakan
punya Taman Nasional dan di bawah penguasaan Negara.
Namun,
bagi masyarakat yang telah lama bermukim disana atau pun juga memiliki
sejumlah aset perkebunan tentu saja keputusan yang diambil oleh Negara
dalam rangka mengambil alih kawasan tentu saja dirasa tidak adil apalagi
jangka waktu relokasi yang di berikan hanya seratus hari
Dengar
pendapat sudah dilakukan oleh Pemkab Pelalawan, baik di pusat
Pemerintahan Kabupaten, Pelalawan, Pangkalan Kerinci, maupun turun
langsung ke lapangan, di lokasi konflik wilayah TNTN. solusi untuk
meredam kepanikan masyarakat pun sudah dibuat dan melibatkan sejumlah
stake holder terkait
Sebelumnya,
ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Penyelamat
Habitat Gajah Sumatera menggelar aksi damai, Selasa (24/6/2025), di
depan Kantor Gubernur Riau dan Kejaksaan Tinggi Riau. Aksi ini merupakan
bentuk dukungan terhadap langkah Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH)
dalam menyelamatkanTaman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dari berbagai
aktivitas ilegal.
Koordinator
aksi, Daffa Hauzan Nabil, menegaskan bahwa unjuk rasa ini adalah
respons atas protes sejumlah warga yang menolak relokasi dari TNTN. Ia
menyebut, pemukiman dan kebun ilegal di kawasan konservasi telah
menghancurkan habitat Gajah Sumatera.
"Kami
aliansi masyarakat penyelamatan Gajah Sumatera mendukung dan meminta
penegak hukum dalam hal ini Satgas PKH agar menuntut dan mengadili
seadil-adilnya para penambahan TNTN yang merusak habitat gajah
Sumatera," ujar Daffa dalam orasi.
Massa
membawa poster dan spanduk bertuliskan dukungan terhadap konservasi,
serta dua boneka gajah bernama Tari dan Domang sebagai simbol
kepedulian. Aksi juga diisi pembacaan puisi lingkungan dan doa bersama.
Aliansi
menyampaikan lima tuntutan utama. Pertama, penghentian seluruh
aktivitas ilegal di TNTN seperti pembukaan lahan, kebun sawit ilegal,
dan pembalakan liar. Kedua, restorasi ekosistem yang transparan dan
melibatkan masyarakat. Ketiga, penegakan hukum tanpa kompromi. Keempat,
patroli terpadu bersama masyarakat adat dan lembaga konservasi. Kelima,
perlindungan menyeluruh terhadap Gajah Sumatera melalui penguatan
koridor satwa dan edukasi publik.
Di
Kantor Gubernur Riau, massa diterima Kepala Satpol PP Riau, Hadi
Penandio, yang menerima boneka gajah sebagai simbol amanah. Ia
menyatakan petisi masyarakat akan diteruskan ke Satgas PKH dan Gubernur
Abdul Wahid.
"Kita semua
rakyat Riau harus mencintai lingkungan, flora, dan fauna di Bumi Lancang
Kuning. Aspirasi masyarakat ini akan kami sampaikan kepada pihak
terkait," kata Hadi.
Setelah
itu, massa melanjutkan aksi ke Kejaksaan Tinggi Riau. Di sana, mereka
disambut perwakilan Satgas PKH dari unsur Kejati, Simon. Ia menyatakan
komitmen terhadap penegakan hukum lingkungan.
"Kami
tegak lurus. Aspirasi teman-teman hari ini memperkuat semangat kami
dalam menindak para pelanggar hukum lingkungan," ujar Simon.
Aksi
damai ini menjadi bentuk solidaritas masyarakat dalam menjaga
kelestarian TNTN yang selama ini terancam alih fungsi lahan. Aliansi
berharap dukungan ini mempercepat langkah penyelamatan kawasan dan
menjaga keberlangsungan hidup Gajah Sumatera
Reaksi
ini sebenarnya sudah sesuai dengan amanat undang - undang dan
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Wewenang
pemerintah dalam pengelolaan lingkungan secara konstitusional bertumpu
pada ketentuan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yaitu “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Namun tentu saja tim
yang bergerak langsung oleh intruksi Presiden Prabowo Subianto ini,
tidak asal- asalan dalam melakukan investigasi di lapangan hal tersebut
terbukti dengan sejumlah temuan
Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKSatgas PKH) tidak dilakukan sembrono dan harus punya rencana pemulihan.
Walhi
menilai relokasi paling lambat pada 22 Agustus nanti bakal menimbulkan
ledakan konflik besar. Apalagi nantinya Satgas PKH atas nama negara
melakukan tindakan penertiban dengan pendekatan militeristik dan
represif.
Walhi
berharap negara belajar dari penyitaan aset kebun kelapa sawit PT Duta
Palma di kawasan hutan. Kala itu, penyitaan hingga pengalihan aset
kepada PT Agrinas Palma Nusantara, tidak menunjukkan upaya serius negara
memulihkan hak masyarakat adat dan lokal serta pemulihan lingkungan.
Walhi
menyatakan negara membiarkan perusahaan yang dibentuknya untuk
melanggengkan konflik dan aktivitas ilegal di kawasan hutan.
Manajer
Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau, Eko
Yunanda mengatakan pemulihan kawasan TNTN harus ditinjau dari 2 aspek
yaitu lingkungan hidup dan sosial.
"Kita
sepakat bahwa upaya penertiban ini mendukung upaya pemulihan kawasan
TNTN namun aspek sosial juga harus dipertimbangkan," katanya.
Menurut
Eko, pemulihan dapat dimulai dengan mengidentifikasi subjek dan objek
pengelolaan. Upaya pemulihan TNTN juga sebaiknya dilakukan dengan
melibatkan masyarakat terdampak.
"Berikan
waktu pergantian tanaman kelapa sawit dengan tanaman hutan, tidak
menutup kemungkinan, pendekatan kemitraan konservasi dibuka untuk
memberi ruang keberlanjutan hidup kepada masyarakat, bukan kepada tuan
tanah atau pebisnis besar," tambah Eko.
Menurut
Eko, generalisasi tenggat waktu tiga bulan yang diberikan Satgas PKH
untuk relokasi kepada semua pihak hanya akan memicu konflik besar.
Relokasi
ini bukan sekedar persoalan pindah rumah, jauh dari itu masyarakat
harus memastikan pekerjaan pengganti memenuhi kebutuhan hidup hingga
kelanjutan pendidikan anak mereka yang berpotensi putus sekolah.
Eko
berharap pemerintah di berbagai level memastikan komitmen
pengawasannya. Selain itu, pemerintah perlu mendorong masyarakat
terlibat aktif dalam upaya perlindungan yang selaras dengan aspek
ekonomi, melindungi hutan alam tersisa, termasuk pemulihannya.
"Negara
harus tegas dalam komitmen pemulihan TNTN, meminimalkan penggunaan
tindakan represif dan penegakan hukum secara selektif harus jadi suatu
yang integral guna menyelesaikan persoalan ini," katanya.
Sementara
itu, Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru Andri Alatas menyebut penertiban
kawasan TNTN harus dilakukan dengan 2 semangat penting. Yaitu
menghormati Hak Asasi Manusia dan berorientasi pada pemulihan lingkungan
hidup.
Menurut Andri,
penertiban di kawasan TNTN harus dilakukan selaras dengan upaya
penyelesaian konflik dan pemulihan hak masyarakat. Selanjutnya, proses
ini harus dengan tegas memperhatikan beberapa kluster kelompok
berdasarkan luas penguasaan.
Beberapa kelompok yang harus diklaster, yaitu:
1.
Masyarakat yang menguasai kurang dari 5 hektare dan telah melakukan
aktivitas lebih dari 5 tahun secara terus menerus (memperhatikan
Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2021);(memperhatikan ketentuan Pasal 110B
ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 18/2013 sebagaimana diubah oleh UU No 6
tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
2.
Masyarakat atau perusahaan yang menguasai lebih dari 25 hektare
(memperhatikan Permentan No 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan
Usaha Perkebunan); dan
3.
Masyarakat yang menguasai lahan antara 5-25 hektare (butuh identifikasi
lebih lanjut apakah dapat dimasukkan ke kelompok pertama atau kedua).
Pembiaran Negara
Andri
menilai ada masyarakat yang dibiarkan negara untuk menetap,
beraktivitas ekonomi, dan melakukan aktivitas sosial di TNTN selama 11
tahun.
Adanya desa
definitif dan sarana prasarana menunjukkan besarnya peran negara
membiarkan atau bahkan mengakselerasi penguasaan dan aktivitas ilegal di
sana.
"Kesalahan dengan melakukan aktivitas pembiaran ini tidak boleh diulang dengan tindakan represif dan militeristik," ucap Andri.
Andri
juga menegaskan, penegakan hukum kepada pemodal yang mempunyai areal
perkebunan besar harus diutamakan. Hukum harus dikerjakan secara
selektif dan tidak dengan mudahnya menyasar mereka yang lemah. (adv)