Penyebab pasti kesengsaraan mereka berbeda-beda, tetapi risiko dari melonjaknya biaya untuk makanan dan bahan bakar dirasakan oleh semuanya.
Akibatnya, Bank Dunia memperkirakan pendapatan per kapita negara berkembang hanya tersisa 5 persen atau di bawah tingkat pra-pandemi.
Bahkan, laporan bertajuk Crisis Response Group yang dirilis PBB pada bulan lalu menyebutkan lebih dari separuh negara termiskin di dunia terlilit utang dan berisiko tinggi dalam kesulitan.
Mengutip AP, Senin (11/7), beberapa krisis terburuk terjadi di negara-negara yang sudah hancur karena korupsi, perang saudara, kudeta, dan bencana lainnya.
Dikutip dari laman cnn Indonesia, berikut adalah negara-negara yang ekonominya dalam kesulitan atau berisiko besar:
Afghanistan
Afghanistan terhuyung-huyung dari krisis ekonomi yang mengerikan sejak Taliban mengambil alih sejak AS dan sekutunya menarik pasukan mereka tahun lalu.
Bantuan asing yang menjadi andalan praktis terhenti dalam semalam dan Afghanistan terkena sanksi, seperti layanan transfer bank yang terhenti yang melumpuhkan sektor perdagangan.
Separuh dari 39 juta penduduk negara itu menghadapi kerawanan pangan yang mengancam banyak jiwa. Sementara, PNS, dokter, perawat, guru tidak mendapatkan gaji selama berbulan-bulan.
Gempa bumi yang terjadi baru-baru ini pun merenggut lebih dari 1.000 orang yang menambah kesengsaraan Afghanistan.
Argentina
Sekitar 4 dari 10 orang Argentina menjadi orang termiskin. Bahkan, jutaan orang bertahan hidup dari dapur umum lewat program kesejahteraan dan bantuan sosial
Kejatuhan ekonomi Argentina terjadi setelah bank sentral negara kehabisan cadangan devisa karena pelemahan mata uang peso Argentina. Diproyeksikan, inflasi tahun ini mencapai lebih dari 70 persen.
Mesir
Inflasi Mesir melonjak hampir 15 persen pada April 2022 yang mengakibatkan sepertiga dari 103 juta penduduknya hidup dalam kemiskinan.
Masyarakat Mesir sudah menderita karena program reformasi ambisius pemerintahnya membuat mata uang mereka mengambang dan memangkas subsidi bahan bakar, air, hingga listrik.
Belum lagi, kebijakan bank sentralnya yang menaikkan suku bunga demi mengekang laju inflasi telah menjebak pemerintahnya kesulitan membayar utang luar negeri yang menumpuk.
Laos
Negara kecil yang terkurung daratan di Asia Tenggara ini sebetulnya mencatat pertumbuhan ekonomi tercepat sebelum pandemi covid-19 melanda.
Tetapi, sejak pandemi, utangnya melompat persis seperti yang dialami Sri Lanka. Setali tiga uang, Laos juga terpaksa mengemis restrukturisasi utang bernilai miliaran dolar AS.
Masalah semakin pelik karena menurut Bank Dunia, cadangan devisa Laos tersisa hanya kurang dari dua bulan impor. Mata uangnya pun jatuh 30 persen yang memperburuk kesengsaraan negara itu.
Lebanon
Seperti Sri Lanka, Lebanon juga menderita karena mata uangnya jatuh hingga 90 persen. Belum lagi, lonjakan inflasi, yang berakibat pada krisis pangan dan krisis energi.
Lebanon menderita krisis ekonomi akibat perang saudara yang panjang, yang menghambat pemulihan negaranya dan disfungsi pemerintah, serta serangan teror.
Lebih parahnya, Lebanon gagal membayar utang mereka senilai US$90 miliar. Rasio utangnya pun meningkat hingga mencapai 170 persen terhadap PDB.
Bank Dunia mengatakan krisis ekonomi Lebanon menempati peringkat salah satu yang terburuk di dunia dalam lebih dari 150 tahun.
Myanmar
Pandemi covid-19 dan ketidakstabilan politik menghantam ekonomi Myanmar, terutama setelah aksi kudeta militer pada Februari 2021 terhadap pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
Myanmar pun dihujani sanksi dari negara Barat, seperti penarikan bisnis secara besar-besaran.
Ekonomi Myanmar terkontraksi minus 18 persen pada tahun lalu dan diperkirakan tidak tumbuh pada tahun ini.
Lebih dari 700 ribu orang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka karena konflik bersenjata dan kekerasan politik yang terjadi.
Situasi di Myanmar semakin tak terkendali. Bahkan, Bank Dunia tak mengeluarkan proyeksi untuk Myanmar pada 2022-2024.
Pakistan
Pakistan terancam krisis ekonomi usai lonjakan harga minyak mentah yang membuat kenaikan harga bahan bakar dan harga-harga lainnya. Inflasinya pun melompat jauh lebih dari 21 persen.
Mata uang rupee Pakistan pun merosot 30 persen terhadap dolar AS pada tahun lalu dan cadangan devisanya turun menjadi hanya US$13,5 miliar atau setara dua bulan impor.
Saat ini, Pakistan tengah meminta bantuan IMF untuk mencairkan dana talangan US$60 miliar. “Risiko ekonomi makro Pakistan sangat condong ke bawah,” tulis Bank Dunia memperingatkan.
Turki
Turki terjebak dalam krisis setelah inflasi mencapai lebih dari 60 persen. Mata uang lira Turki pun jatuh ke posisi terendah sepanjang masa terhadap euro dan dolar AS sejak tahun lalu.
Kebijakan pemangkasan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam lonjakan inflasi yang diambil Pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan gagal membawa Turki keluar dari krisis.
Sementara, utang luar negeri Turki sudah menembus 54 persen dari PDB negaranya, tingkat yang cukup mengkhawatirkan mengingat utang pemerintahnya mendominasi.
Zimbabwe
Zimbabwe pernah menyandang status hiperinflasi pada 2008 ketika inflasinya mencapai 500 miliar persen. Kekhawatiran ini meningkat karena inflasi saat ini sudah menyentuh 130 persen.
Masalah ekonomi Zimbabwe sudah menahun dan semakin parah karena korupsi, rendahnya investasi yang masuk, dan tumpukan utang.
Ironisnya, warga Zimbabwe tidak mempercayai mata uang negara mereka sendiri dan memilih menyimpan uang dalam bentuk dolar AS.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memprediksi akan ada lebih banyak negara berkembang yang menyusul krisis ekonomi Sri Lanka hingga bangkrut.
Cukup Aman
Dalam laporan Crisis Response Group yang dirilis, PBB menyebut dua negara berkembang di Asia Tenggara yang rentan ekonominya karena terlilit utang, serta kenaikan harga komoditas akibat perang Rusia-Ukraina.
Perekonomian Laos mengalami tekanan sejak terjadi covid-19. Saat ini, semakin parah akibat ditambah tekanan perang antara Rusia dan Ukraina.
Senasib dengan Sri Lanka, Laos juga mengalami lonjakan utang yang mengakibatkannya harus mengemis restrukturisasi utang bernilai miliaran dolar AS.
Keterpurukan ekonomi Laos bertambah parah karena cadangan devisanya yang makin menipis dan hanya mampu membiayai kurang dari dua bulan impor. Mata uangnya pun jatuh 30 persen yang memperburuk kesengsaraan negara itu.
Inflasi di Laos juga melonjak sebesar 9,9 persen (year on year) pada April 2022. Berdasarkan Tradingeconomics, inflasi Laos adalah lonjakan tertinggi kedua di antara negara ASEAN lainnya.
Selain Laos, ekonomi Myanmar juga terguncang. Biang keladinya, ketidakstabilan politik Myanmar, terutama seusai aksi kudeta militer pada Februari 2021 terhadap pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
Myanmar pun dihujani sanksi dari negara Barat, seperti penarikan bisnis secara besar-besaran dari negara mereka oleh korporat raksasa.
Ekonomi Myanmar terkontraksi minus 18 persen pada tahun lalu dan diperkirakan tidak tumbuh pada tahun ini.
Lebih dari 700 ribu orang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka karena konflik bersenjata dan kekerasan politik yang terjadi.
Situasi di Myanmar semakin tak terkendali. Bahkan, Bank Dunia enggan mengeluarkan proyeksi untuk Myanmar pada 2022-2024.
Saat ini, Myanmar merupakan negara dengan laju inflasi tertinggi di antara negara ASEAN. Inflasinya tercatat 13,82 persen pada Januari 2022, lebih tinggi dibanding posisi Desember 2021 yang sebesar 12,63 persen.
Kendati Laos dan Myanmar seperti di ujung tanduk, tidak demikian dengan halnya Indonesia. Bahkan, Bank Dunia pernah mengecualikan Indonesia dari ancaman resesi negara-negara di dunia.
Indonesia terbilang cukup aman dari ancaman resesi ekonomi. Sebab, proyeksi pertumbuhan ekonominya tidak diubah oleh Bank Dunia yang pada tahun ini tetap di level 5,1 persen.
Pada 2021 lalu, Indonesia masih mencatat pertumbuhan ekonomi positif 3,7 persen. Tahun ini, perkiraannya PDB tumbuh lebih tinggi, yaitu 5 persen, dan 5,3-5,9 persen pada 2023 nanti.
Inflasi Indonesia yang menunjukkan peningkatan pun masih relatif terbilang aman. Pada Juni 2022, inflasi RI mencapai 4,35 persen atau tertinggi sejak lima tahun terakhir.
Lalu, bagaimana dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam'
Mengikuti Indonesia, ekonomi Singapura juga boleh dibilang dalam posisi kuat. Singapura mencatat pertumbuhan ekonomi 7,2 persen pada tahun lalu, tertinggi dalam satu dekade.
Walaupun, inflasi Singapura sudah tembus 5,6 persen per Mei 2022. Diikuti dengan inflasi inti 3,6 persen. Cukup tinggi, namun diklaim masih dalam posisi aman.
Malaysia juga mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen pada kuartal I 2022. Angka ini lebih baik dari posisi akhir tahun lalu yang sebesar 3,6 persen.
Sayangnya, inflasi Malaysia juga ikut meningkat menjadi 2,8 persen pada Mei 2022.
Begitu pula dengan ekonomi Thailand yang berangsur membaik dari tekanan pandemi covid-19. Pada tahun lalu, perekonomian negeri gajah putih ini tercatat tumbuh 1,6 persen setelah turun dalam, yaitu 6,2 persen pada 2020 lalu.***