• Home
  • Nasional
  • Diantara Gubernur Jakarta Lainnya Baru Ahok Yang Berani Menggusur Kampung Pulo
Kerusuhan Kampung Pulo

Diantara Gubernur Jakarta Lainnya Baru Ahok Yang Berani Menggusur Kampung Pulo

Jumat, 21 Agustus 2015 | 09:42
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (gambar dari google picture/internet)
JAKARTA, RIAUGREEN.COM - Setiap tahunnya, wilayah Kampung Pulo, di Jakarta Timur, tak pernah absen dari banjir. Saking sering kebanjiran, warga di sana seolah terbiasa saat rumah dan barang-barang berharga mereka terendam air dengan ketinggian 1-2 meter.

Sudah berulang kali dicarikan solusi agar warga Kampung Pulo bisa direlokasi dari bantaran agar normalisasi Kali Ciliwung bisa dilakukan. Namun, selalu mentok karena warga merasa lahan yang dibangun hunian adalah milik mereka, meskipun dalam temuannya ada sebagian yang tak bersertifikat.

Warga yang sudah puluhan tahun tinggal di sana, selalu coba melakukan perlawanan. Mereka berdalih di sana, rumah dan tempat mencari nafkah. Soal banjir, mereka menganggap itu sebagai risiko.

"Yah sudah biasa lah, jadi enggak perlu lagi ngungsi, palingan nanti sore sudah surut," ujar Trisno seorang warga RW 03/RT 06.

Mereka pun sudah mengantisipasi saat musim penghujan tiba. Misalnya dengan sigap memindahkan sejumlah barang elektronik ke lantai dua rumahnya. Memang, di sana sebagian rumah warga berlantai dua.

"Jadi begitu pintu air di Bogor siaga 3, kami langsung beritahukan pada warga agar segera mengemasi barangnya," ujar Ketua RT 04/03, Kampung Pulo, Usep, dengan santainya saat kebanjiran pada tahun 2012 lalu.

Sebenarnya, persoalan warga yang menumpuk di Kampung Pulo sudah menjadi perhatian setiap gubernur yang memimpin. Bahkan di tahun 2006, saat Sutiyoso masih jadi gubernur DKI, dia sudah pernah menawarkan pada warga untuk pindah ke rusun. Soal lahannya akan dia carikan yang terpenting warga tak terkena banjir lagi.

"Kita sudah proyeksikan. Punyalah!" kata Sutiyoso kala itu.

Tapi niatan itu ditolak mentah-mentah sejumlah warga. Mereka ogah pindah ke rusun karena tak mau ada anggaran lebih besar yang keluar setiap bulannya.

"Saya nggak mampu kalau harus bayar lagi. Penghasilan saya pas-pasan banget," kata salah satu warga RW 02.

Saat Jakarta berganti kepemimpinan ke Fauzi Bowo, masalah Kampung Pulo masih jadi pembahasan. Tapi saat itu, Foke, sapaannya, tampak lebih mengikuti kemauan warga.

Dia hanya mengimbau warga di semua bantaran untuk selalu waspada bila musim penghujan tiba. "Saya gembira imbauan kami untuk mengungsi, direspon oleh warga. Tapi banyak yang enggak mau pindah, seperti kemarin. Tapi kami tetap siapkan posko kesehatan, posko sosial sesuai SOP," ujar Foke saat mengunjungi lokasi pengungsian di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur, kala itu.

Selain itu, Foke juga lebih sibuk membenahi infrastruktur penanganan banjir. Bukan menertibkan bangunan liar yang ada di bantaran.

"Tanggul sudah berdiri, tapi fungsi tempat parkir air belum bisa dikontrol kalau pompa belum difungsikan," kata Foke.

Ketegasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta soal warga bantaran yang jadi salah satu penyebab banjir di Jakarta mulai terlihat saat ibu kota dipimpin pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Maklum saja, beberapa bulan setelah pelantikannya pada Oktober 2012, Jakarta teredam banjir termasuk kawasan HI, Balaikota dan Istana Kepresidenan.

Bahkan, tanggul vital di kawasan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, sampai jebol. Kala itu Jokowi dan Ahok sempat tertegun.

Tak mau Jakarta terus kebanjiran keduanya berpikir sebuah solusi. Setelah meninjau lokasi banjir termasuk Kampung Pulo, Jokowi tahu salah satu penyebabnya karena bantaran kali menjadi sempit karena dipenuhi rumah ilegal penduduk.

Jokowi lantas mengonsepkan tiga cara untuk mengatasi banjir di Kampung Pulo. Satu yang utama bisa merealisasikan program bebas banjir adalah komunikasi antara masyarakat setempat dan pemerintah.

Sayang, belum genap dua tahun di DKI, Jokowi terpilih sebagai Presiden ke 7 RI menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono. Aksi nyatanya membereskan banjir di Kampung Pulo tak terlihat.

Meski ditinggalkan Jokowi, penanganan banjir di Kampung Pulo rupanya tak dilupakan Ahok, sapaan Basuki, yang menduduki posisi gubernur. Ahok memilih menggunakan cara yang sedikit tegas tapi tetap menjamin tempat tinggal warga yang digusur.

Ahok mengatakan bila warga bantaran di Kampung Pulo tak direlokasi, sampai kiamat Jakarta tak akan bebas dari banjir. Karena itu, suka tidak suka, mereka harus direlokasi dan disediakan rusun sebagai penggantinya.

Tapi niatan Ahok ditentang. Ahok lantas mengusulkan memberi ganti rugi pada mereka yang memiliki sertifikat hak milik atas rumahnya di sana, meski jelas itu lahan negara. Sedangkan yang tak punya sertifikat tentu tak mendapatkan ganti rugi.

Lagi-lagi ide itu ditentang. Saking kesalnya Ahok memutuskan menyusun Peraturan Daerah (Perda) berisi payung hukum untuk memberikan solusi bagi warga, yang terdampak penggusuran, seperti halnya ribuan warga Kampung Pulo. Saat ini, pihaknya tengah menggodok sejumlah peraturan, untuk mencari solusi terkait masalah kependudukan dan lahan-lahan di bantaran sungai.

"Waktu kami membereskan normalisasi sungai kalau banjir melanggar HAM orang enggak? Menurut saya kalau biarkan banjir itu melanggar HAM.? HAM rakyat dilanggar kalau banjir. Kalau ingin mengatasi banjir ya tolong jangan tinggal di sungai," tegas Ahok.

Niatan itu rupanya dibalas ancaman akan digugat ke PTUN. Kali ini Ahok bersikap tegas. Dia menegaskan akan tetap merelokasi warga dari Kampung Pulo dan memindahkan ke rusun yang disediakan. Yang bersedia silakan, yang menolak artinya akan digusur.

Kemarin, Kamis (19/8) Ahok membukti ucapannya. Dia benar-benar merobohkan hunian warga Kampung Pulo. Ribuan petugas Satpol PP dibantu alat berat dan dijaga kepolisian melakukan penggusuran sejak pagi.

"Kampung Pulo kita tetap gusur karena beberapa orang sudah pindah, ada yang minta ganti rugi, saya uang dari mana, dasarnya apa minta, ya kan. Mau enggak mau harus jalan (dibongkar) pasti ribut, enggak ada pilihan," ucap Ahok.

Ahok menegaskan bangunan yang menyalahi aturan harus dibongkar. Mereka juga tak berhak atas ganti rugi.

"Logikanya begini, kalau bangunan liar di atas tanah negara kita ganti rugi bangunan itu, kira-kira kalau bangunan di tanah resmi kalau dirobohkan karena menyalahi aturan harus diganti nggak, harus lebih diganti logikanya," paparnya.

Rupanya, langkah Ahok coba dicegah warga. Kamis pagi, ruas Jl Jatinegara Barat malah mencekam. Warga Kampung Pulo melakukan perlawan saat petugas merobohkan bangunan semi permanen dan permanen. Mereka melempari petugas dengan batu. Bahkan satu alat berat ikut dibakar dan kaca rumah sakit pecah.

Mereka tak terima digusur tanpa ganti rugi. Bambu dan petasan juga dilemparkan ke arah petugas. Kedua belah pihak pun sampai terluka.

Tapi Ahok didukung Kapolda Metro Jaya, Irjen Tito Karnavian tak gentar. Setelah warga dipukul mundur petugas dengan melepaskan gas air mata, penggusuran kembali dilanjutkan. Bahkan Ahok dan wakilnya Djarot sepakat relokasi terus dilanjutkan.

"Sekarang begini, kita udah tahu ini banjir, ini udah seperti sinetron, kita bilang harus pindah. Mereka bilang enggak mau pindah jangan jauh-jauh. Maunya deket sini, warga bilang, kalau ada rusun deket sini kami mau. Ya udah, kita korbanin gedung teknisnya Sudin Pekerjaan Umum (PU), jadilah rusun sekarang," kata Ahok.

Menurutnya, iuran Rp 10 ribu per hari tersebut bakal digunakan untuk perawatan rusunawa. Pemprov DKI juga mensubsidi hingga 80 persen untuk biaya perawatan.

"Ini 10 ribu per hari dia pakai pulsa HP lebih mahal. Kami subsidi 80 persen, mana ada di Jakarta. Kalau di apartemen mahal pun kamu bayar uang lingkungan enggak? Bayar per meter sejutaan sebulan. Anda beli dan sewa ini tidak beli tidak sewa. Anda hanya tinggal di sana biaya perawatan keamanan kebersihan semua Rp 10 ribu sehari. Kamu dagang bayar preman aja Rp 60 ribu sehari," tutur dia.

"Kalau betul dia enggak ada uang saya masukin ke panti ditanggung makan Rp 28 ribu sehari. Yang ngaku enggak bisa bayar Rp 10 ribu per hari, saya masukin ke panti. Duduk saja di situ kerjaannya cuma ngipas-ngipas dapat Rp 28 ribu sehari," tambahnya.

"Kalau penolakan pastilah, ada yang suka dan ada yang tidak," tambah Djarot.

Sampai Kamis sore akhirnya dikawal ribuan petugas gabungan, penertiban terus dilakukan. Karena belum rampung, penertiban akan dilanjutkan Jumat ini.

Sedangkan terkait kericuhan itu, 27 orang yang dianggap sebagai provokator ikut diamankan.

"Polres Jakarta Timur sudah mengamankan 27 orang yang sedang diidentifikasi tim yang diduga sebagai pelaku kerusuhan. Kita sedang memeriksa dan mengidentifikasi apa perannya masing-masing," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes M Iqbal.

Iqbal menjelaskan, mereka diduga provokator dalam ricuh penggusuran bangunan liar di Kampung pulo tersebut. Polisi masih mendalami peran mereka dalam kasus bentrokan ini.

"Mungkin juga di antara mereka, ada yang melakukan tindak pidana. Tapi sampai saat ini tim kami di Polres Metro Jaktim masih melakukan pemeriksaan terhadap mereka," tuturnya.

Meski suasana sudah kondusif, petugas gabungan masih terus berjaga di lokasi.




editor  : Hafiz
source : merdeka.com

BERITA LAINNYA
Naik Pangkat, Empat Perwira Polri Pecah Bintang
Senin, 26 Februari 2024 | 22:45
Kompolnas Dukung Kenaikan Gaji Anggota Polri
Rabu, 31 Januari 2024 | 20:23
BERIKAN KOMENTAR
Buy twitter verification Buy Facebook verification Buy Tiktok verification SMM Panel
Top