Menggugat Pragmatisme dalam Kaderisasi Parpol

Oleh: Muridi Susandi (Kader Muda Golkar dan Ketua IWO Inhil)
Jumat, 06 Juli 2018 | 21:39
Menuju pilpres dan pileg 17 April 2019 tentunya seluruh parpol telah berupaya menyiapkan kader-kader terbaiknya yang bakal di usung untuk bertarung dalam agenda pesta demokrasi 5 tahunan itu, tentunya dengan dan dilakukan dalam proses memilih dan memilah sesuai kebijakan Parpol masing-masing apakah itu siapa-siapa saja yang akan diusung untuk didaftarkan menajdi Bacaleg yang dipercayakan partainya, tentunya ini semua adalah agenda yang di tunggu-tunggu untuk seluruh kader-kader partai khususnya yang muda, untuk mempraktekkan ilmu politik praktis diparlemen tentunya dalam artian memPraksiskan politik lewat pemerintahan melalui kursi DPRD.

Sebelum kita jauh lebih dalam memaknai politik kali saya ingin menjelaskan terlebih dahulu apa itu kader dan kaderisasi, karena perlu pengetahuan untuk dapat benar-benar memahami makna dan titik penting kader dan kaderisasi, logisnya kita menjelaskan dulu pengertian kedua term tersebut, baik secara etimologi, terlebih terminologi.

Kader sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu cadre, yang berarti bingkai. Sementara secara terminologi, kader adalah subyek yang berada dalam suatu organisasi yang bertugas mewujudkan visi-misi organisasi tersebut. Dari pengertian tersebut, kemudian kita dapat memahami pengertian kaderisasi yang merupakan proses yang dilakukan para kader organisasi dalam mewujudkan visi-misi organisasi. Kaderisasi yang dilakukan oleh para kader tersebutlah yang kemudian membingkai gambaran organisasi agar terlihat lebih jelas dan membedakannya dengan yang bukan gambar ataupun gambaran organisasi lain.

Sedangkan Pragmatisme bagi sebagian orang dianggap sebagai suatu sikap yang tidak menghargai proses. Namun, apabila kita merujuk pada sejarah pragmatisme sendiri, sebenarnya sikap pragmatis bukan berarti tidak menghargai proses, akan tetapi, lebih kepada menghilangkan unsur-unsur yang dapat mengurangi efisiensi dari suatu langkah pencapaian tujuan. Ya bisa dibilang suatu cara yang mana lebih menitikberatkan sesuatu kepada hasil bukan proses, tidak mau tahu tentang proses yang penting ada hasil dan apabila kita contohkan dengan persepakbolaaan, pragmatisme adalah  dimana seseorng pemain bola harus mencetak gol namun disana tidak di persoalkan dan di masalahkan tehknik iya mencetak gol atau tehknik ia bermain, yang terpenting adalah gol nya tadi, begitulah kira-kira sebuah pragmatisme bekerja.

Dalam hal ini jika kita kaitkan pragmatisme kaderisasi partai, mungkin tidak asing dan sebabahagian mengatakan sah-sah saja dengan istilah "kaderisasi instan" inilah yang ingin saya bahas dalam opini ringan saya ini, sebagai kader suatu partai saya berasumsi terlebih jika suatu kader diusung atau di percayakan partai idealnya ia harus mempunyai potensi yang bisa membuat partai percaya kepadanya jka ia ingin di usung sebagai contoh untuk menjadi bacaleg, secara sederhana  tentu seperti itu kerangka pikirnya.

Sebagai catatan

Biasanya sebuah partai dalam mengusung kadernya ia akan melihat terlebih dahulu potensi-potensi kadernya, biasanya apakah itu menyoal Figuritas kader atau potensi kecerdasan kader tersebut yang mana dirasa dapat mendopleng sebuah partai, yang saya sering temui adalah para kader acapkali batal diusung dalam hal kader yang tidak memiliki mahar politik, meskipun keberadaan mahar politik ini adalah antara ada dan tiada yang dimana sulit kemudian dibuktikan melalui ranah hukum, namun keberadaannya dianggap ada. Sebagai juga kader muda suatu partai, tentunya saya sangat miris melihat persoaan ini.

Lagi dan lagi hari ini kita melihat banyak parpol yang benar-benar mencetak seorang kader-kader yang mumpuni itu sangatlah jarang, alih alih faktanya yang ada kader-kader yang tersandung korupsi sebagai prestasi dan bukan lebih kepada prestasi politiknya. Oleh karenanya sistem belanja figur kenamaan untuk kemudian diusung sudah tidak jamannya lagi, masih banyak diluar sana yang mempunyai kompetensi dan kualitas untuk menjadi kader terbaik suatu partai. Sebab menghaakan kaderisasi instan sama saja menenlanjangi sistem internal partai yang mana seharusnya mencerinkan dmokrasi itu.

Harapan untuk kedepan

Saya berharap agar tidak adanya lagi pengkaderan yang bersifat pragmatis karena itu dapat melangkahi proses demokrasi yang seutuhnya, di mana internal partai tidak menerapkan sistem demokrasi. "Karena indikasi pemilu salah satunya, adanya demokrasi dari partai politik, dan jika internal suatu partai tidak melaksanakan sistem demokrasi bagaimana ingin melaksanakan demokrasi di negara ini, bisa-bisa demokrasi yang ada di negeri ini dikangkangi oleh oknum-oknum pragmatis yang opurtunis. Jangan sampai ada  benih-benih oligarkis didalam partai yang menggurita yang memperkosa sistem demokrasi yang seharusnya memilih kader dengan secara ideal dan tanpa menggunakan elite-elite kecil didalam suatu partai, karena sudah beberap dekade ini suatu partai mendapat citra buruk karena banyak skandal-skandal korupsi ditubuh suatu partai, semoga kita senantiasa bisa menjadi kader-kader terbaik yang mengandalkan kualitas dan pemikiran yang cerdas serta berintegritas. Karena partai yang baik adalah partai kader dan bukan partai massa.

Sebagai penutup saya ingin mengingatkan kutipan dari bapak proklamator kita bunghatta beliau mengingatkan mengingatkan, "jika partai tidak menjalankan kaderisasi, maka anggota partai hanya akan menjadi "pembebek" keinginan pimpinannya. "Kebiasaan membebek itu tiada memperkuat pergerakan. Bahkan, itu akan membunuh pergerakan,"  dan juga dalam hal praktek kaderisasi instan yang pragmatis akan mengikis kualitas partai. *

BERITA LAINNYA
Menaikkan Insentif Fiskal untuk Pengendalian Inflasi
Jumat, 15 September 2023 | 17:20
Belajar Menjadi Guru Biologi yang Interaktif
Rabu, 12 Oktober 2022 | 13:39
Korupsi Dana Bansos di Masa COVID-19
Jumat, 17 Juni 2022 | 22:43
BERIKAN KOMENTAR
Buy twitter verification Buy Facebook verification Buy Tiktok verification SMM Panel
Top