RIAUGREEN.com - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengatur terkait pidana penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden alias dikenal sebagai pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. Aturan itu diatur dalam pasal 218 RKUHP.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan, bedanya dengan pasal yang pernah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi, pasal penghinaan presiden kali ini berupa delik aduan. Pemerintah menambah penjelasan terkait delik aduan itu setelah melakukan sosialisasi RKUHP.
"Jadi kami memberikan penjelasan bahwa ini adalah perubahan dari delik yang bersifat tadinya delik biasa menjadi delik aduan," ujar Edward saat rapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/5).
Edward mengatakan, pasal ini berbeda dengan yang telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi. Yang lama merupakan delik biasa.
"Jadi sama sekali kami tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi, justru berbeda. Kalau yang dimatikan Mahkamah Konstitusi itu delik biasa," ujarnya.
Lebih lanjut, Edward menjelaskan, ditambahkan juga penjelasan bahwa pengaduan harus dilakukan secara tertulis oleh presiden dan wakil presiden. Serta ditambah pengecualian agar tidak dilakukan penuntutan bila untuk kepentingan umum.
"Sementara yang ada dalam RKUHP ini adalah delik aduan dan kami menambahkan itu bahwa pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden dan juga ada pengecualian untuk tidak dilakukan penuntutan apabila ini untuk kepentingan umum," jelas Edward.
(Merdeka)